Potensi Konflik Pembentukan Provinsi Tapanuli

Monday, November 21, 2011

Kunjungan DPD RI beberapa waktu lalu sekali lagi meyakinkan masyarakat Tapanuli bahwa Tapanuli akan segera menjadi Propinsi termuda di Indonesia. Ketua tim panitia Ad Hoc DPD RI Adnan NS malah dengan lantang mengatakan “DPD RI sebagai representasi wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia akan berjuang mati-matian mewujudkan terbentuknya Provinsi tapanuli sebagai provinsi ke-34 di Indonesia,” Pemerintah provinsi Sumatera Utara pun juga telah setuju melalui pernyataan Sekdapropsu Drs Muhyan Tambuse yang mewakili Gubsu yang mengatakan “Untuk tingkat propinsi sudah final, secara formal telah disampaikan kepada pihak legislatif, tinggal menunggu dan akan patuh atas keputusan pemerintah pusat, serta Pempropsu amat taat azas”, (harian SIB edisi 7 November 2007). Perkiraan saya propinsi tapanuli sudah 80% jadi.

Banyak pihak yang setuju maupun yang kontra terhadap pembentukan provinsi ini. Bagi pihak yang pro mereka pasti akan beralasan pemerataan pembangunan, meningkatkan kemakmuran masyarakat, memperpendek jalur birokrasi, dll. Namun bagi pihak yang kontra mereka beranggapan bahwa pembentukan provinsi ini hanya ajang bagi-bagi kue saja, syarat berbagai kepentingan golongan, tidak murni mementingkan kepentingan masyarakat Tapanuli. Wajarlah mereka berpandangan begitu, karena memang benar pada kenyataannya setiap pemekaran daerah selalu diselingi konflik dan perbedaan pendapat.

Secara pribadi saya tidak mempersalahkan proses pemebentukan propinsi ini, namun dari lubuk hati saya, ada kekawatiran tersendiri di balik pembentukan daerah pemekaran baru ini. Masih teringat oleh kita kasus Poso dan kasus Ambon yang berawal dari ketimpangan pembangunan. Kedua daerah ini adalah daerah pluralis yang masih termarginalkan. Yang paling parah adalah kasus poso, berawal dari pemekaran wilayah, banyak orang yang tidak sepakat, menyebabkan banyak kekisruhan terjadi dimana-mana. Poso (meskipun hanya daerah tingkat II) dan Sumatera Utara memiliki beberapa kesamaan dalam hal penyebaran penduduk. Beberapa daerah di Poso dan Sumut memiliki daerah mayoritas dan minoritas. Ketika minoritas di tandingkan dengan mayoritas pasti akan terjadi perbedaan kepentingan yang pada ujungnya adalah konflik dan pertikaian.

Namun di balik kekawatiran itu, saya masih kagum dengan situasi sumut yang sangat pluralis namun tingkat toleransinya sangat tinggi sekali. Dalam suatu diskusi, saya pernah mengatkan: “Indonesia perlu belajar pada Sumut dan Sulut dalam hal pluralisme yang tolerif”. Kedua Provinsi ini memang memiliki penyebaran etnic dan agama yang sangat beragam, namun kehidupan masyarakat tetap harmonis. Hampir setengah wilayah Indonesia yang sudah saya jalani, saya menarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan mencolok pemahaman masyarakat terhadap pluralisme di Sumut dan Sulut dengan daerah lainnya. Namun hal ini tidak bisa menjadi jaminan bila kelak Provinsi Tapanuli berdiri akan adem ayem saja.

Berbagai kasus pertikaian rasial yang terjadi di Negara kita tidaklah murni karena kemauan masyarakat setempat. Saya menduga ada pihak yang bermain di belakangnya, ada segolongan pihak yang tidak sepakat dengan pengertian kemajemukan bangsa Indonesia. Kasus Poso menjadi contoh nyata ketika banyak orang dari pulau Jawa ternyata kita jumpai di balik penanganan kasus ini.

Kegelisahan saya ini sungguh sangat berdasar, untuk itu saya menghimbau kepada semua masyarakat Tapanuli termasuk para tokoh yang menjadi pilar pendiri provinsi ini untuk memikirkan hal ini. Jangan karena kesempatan terbuka lebar, perjuangan semakin mencapai sasaran sehingga dengan nafsu tinggi memperjuangkan pemekaran ini tanpa mengabaikan unsur kemajemukan masyarakat. Jangan sampai proses pendirian provinsi ini hanya sekedar euphoria saja.

Dalam setiap studi pemekaran wilayah di Indonesia belum pernah ada studi mengenai manajemen konflik, yang dibahas melulu hanya potensi daerah, PAD, jumlah penduduk, dll. Pemahaman para elit menghadapi suatu masalah demograsi di Indonesia ini jarang sekali beranjak dari faktor humanis. Segala sesuatu selalu dikaitkan dengan kekuasaan dan uang. Maka tidak jarang kita jumpai daerah pemekaran yang belum menyentuh esensi dari pembangunan itu, malah ada rencana beberapa daerah pemekaran akan di kembalikan ke daerah induknya karena belum ada keberhasilan pembangunan sama sekali.

Tapanuli adalah daerah yang kaya dan subur, banyak para pejabat Negara dan pengusaha nasional yang berasal dari sini, namun daerah ini selalu saja terpinggirkan oleh kemajuan pembangunan nasional. Bayangkan saja ketika musim pemekaran mulai didengungkan sudah ada 6 kabupaten baru di daerah tapanuli yang dimekarkan dengan alasan ketertinggalan pembangunan. Dari awal saya sudah menduga banyaknya pemekaran kabupaten di wilayah Tapanuli pasti akan berujung pada pembentukan Propinsi Sumatera Timur. Perkiraan saya itu benar hanya nama propinsinya saja yang berubah. Sebutan orang batak adalah banyak taktik adalah contoh nyata dalam kasus ini.

Jika kita telusuri lebih mendalam dasar pembentukan protap ini beranjak dari ketimpangan kebijakan pembangunan Sumatera Utara yang jarang sekali menyentuh dearah daerah di Tapanuli, termasuk dalam hal ini kaitan si pembuat kebijakan yang nota bene lebih memihak segolongan daerah di sumut, Namun selain itu ada satu factor utama yang sebenarnya menjadi asal muasal pemisahan daerah ini yaitu penyebaran keyakinan. Daerah tapanuli bagian utara, dan barat sangat didominasi oleh penduduk Kristen dan katolik, sementara tapanuli bagian tengah relative berimbang antara penduduk Kristen dan islam, hanya tapanuli bagian selatan yang didominasi oleh pemeluk islam. Yang terakhir sepertinya tidak akan mau bergabung dengan propinsi ini kelak. Selama ini meskipun banyak pejabat negara dan pengusaha nasional berasal dari Tapanuli, tidak mampu menembus birokrasi pemerintahan yang secara kasat mata terpisahkan oleh keyakinan ini. Itulah sebabnya Tapanuli Selatan tidak mau bergabung dalam rencana wilayah Provinsi Tapanuli ini, meskipun sama-sama Tapanuli. Hal ini dikarenakan dominasi pemeluk Islam di daerah Tapanuli Selatan yang lagi-lagi beranggapan jika bergabung dengan Propinsi Tapanuli yang mayoritas Kristen & katolik malah jadi daerah yang dimarginalkan nanti. Padahal sebenarnya kita tahu bahwa pembangunan di Tapanuli Selatan tidak jauh beda dengan daerah Tapanuli lainnya.

Saya bukannya mau mendikotomikan kedua keyakinan ini, namun saya kawatir sekali bila pembentukan propinsi ini hanya didasarkan alasan keyakinan ini saja, kedepan sangat rentan terhadap potensi konflik rasial. Euphoria pembentukan provinsi ini sebaiknya juga diimbangi dengan studi kelayakan yang tidak hanya dari factor ekonomi dan politik saja. Para elit daerah, dalam hal ini panitia pemekaran harus solid, dan keluar dari berbagai macam kepetingan dan pengaruh yang mencoba merasuki Tapanuli dengan konflik yang mengatasnamakan ras. Demikian juga apabila kelak propinsi ini berdiri para elit jangan sampai terlena dengan keberhasilan pendirian protap ini, justru daerah baru masih belum memiliki jati diri yang kokoh, gampang diombang-ambingkan dengan segala macam kepentingan, sehingga sangat retan dengan berbagai konflik. Pun dengan semua tokoh yang berasal dari Tapanuli, marilah peduli dengan rencana pembentukan propinsi ini, dengan sumbangan saran dan pemikiran. Bukan masalah setuju atau tidak setujunya, tapi mari kita gali proses pembentukan Protap ini dari segala disiplin ilmu, sehingga kelak propinsi ini menjadi propinsi yang tangguh dengan perencanaan yang matang.

Read more...

ARTI KATA HORAS

Horas adalah salam khas Batak. Kata "horas" adalah ungkapan rasa gembira dan syukur dan juga pengharapan atas keselamatan dan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa. Horas diucapkan pada saat berjumpa maupun saat akan berpisah. Horas juga digunakan sebagai salam pembuka dan penutup dalam setiap acara Batak. Jika seseorang mengucapkan salam "horas" kepada anda sahutlah dengan mengucapkan "horas" juga. Ini akan membantu menciptakan suasana yang bersahabat dan bersemangat. Karena artinya yang sangat indah dan penuh makna itulah maka banyak orang Batak menamai anaknya dengan nama "Horas".

Read more...

ARTI KATA BATAK

Sudah sejak lama sebutan (perkataan) Batak sebagai nama salah satu etnis di Indonesia diteliti dan diperbincangkan banyak orang asal kata atau pengertiannya. Bahkan melalui beberapa penerbitan suratkabar pada awal abad 20 atau juga masa sebelumnya, pernah terjadi polemik antara sejumlah penulis yang intinya memperdebatkan apa sebenarnya pengertian kata (nama) Batak, dan dari mana asal muasal nama itu. Di suratkabar Pewarta Deli no. 82 tahun 1919 misalnya, polemik yang paling terkenal adalah antara seorang penulis yang memakai nama samaran “Batak na so Tarporso” dengan J. Simanjutak. Keduanya saling mempertahankan pendirian dengan argumentasi masing-masing, serta polemik di surat kabar tersebut sempat berkepanjangan. Demikian pula di suratkabar keliling mingguan yang di terbitkan HKBP pada edisi tahun 1919 dan 1920, perbincangan mengenai arti sebutan Batak itu cukup ramai dimunculkan.

Seorang penulis memakai inisial “JS” dalam tulisan pendeknya di suratkabar Imanuel edisi 17 Agustus 1919, akhirnya menyatakan diri tampil sebagai penengah diantara silang pendapat tersebut. JS dalam tulisannya antara lain mengutip buku berjudul “Riwayat Poelaoe Soematra” karangan Dja Endar Moeda (alm) yang diterbitkan tahun 1903, yang pada halaman 64 cuplikannya sebagai berikut : “Adapoen bangsa yang mendoedoeki residetie Tapanoeli itoe, ialah bangsa Batak namanya.

Adapoen kata ‘Bata’ itoe pengertiannya : orang pandai berkuda. Masih ada kata Batak yang terpakai, jaitoe “mamatak”, yang ertinya menaiki koeda. Kemoedian hari orang perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki (plesetan/red BONA) kepada bangsa itoe…”keterangan serupa juga dikemukakan Dr. J. Warneck (Ephorus HKBP) dalam bukunya berjudul “Tobabataksch-Deutsche Woterbuch” seperti tertulis di halaman 26.

Menurut JS yang beralamat di Pangaribuan seperti tertulis di suratkabar Imanuel, tuan L.Th. Meyer juga menulis dalam bukunya berjudul “Maleisch Hollandsch Wordenboek”, pada halaman 37 : “Batak, Naam van een volksstamin in Sumatra…” (Batak adalah nama satu Bangsa di pulau Sumatra).

Keterangan itu dituturkan JS dalam tulisan pendeknya sebagai meluruskan adanya anggapan ketika itu seolah-olah perkataan Batak memberi pengertian terhadap suatu aliran/kepercayaan tentang agama tertentu yang dikembangkan pihak tertentu mendiskreditkan citra orang Batak.

Read more...